Menelusuri Pentingnya Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik

Reading Time: 4 minutes

Standar pelayanan kefarmasian adalah pedoman dasar bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yang optimal.

Unit atau instalasi farmasi merupakan salah satu bagian dari unit pelayanan kesehatan yang penting dalam setiap operasional fasilitas pelayanan kesehatan, terutama di klinik yang menyelenggarakan fasilitas rawat inap. Dengan tugas atau tanggung jawab yang besar dalam menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur, dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian untuk pasien yang membutuhkan, seorang atau sekelompok tenaga kefarmasian harus mampu merencanakan lalu mengoptimalkan standar pelayanan kefarmasian. Nantinya, pedoman tersebut dapat mempengaruhi peningkatan kualitas layanan unit farmasi dan keseluruhan layanan klinik. 

Problematika Dalam Pelayanan Kefarmasian

Keberadaan standar pelayanan kefarmasian tidak mungkin terwujud apabila tidak dipicu adanya permasalahan dalam pelayanan kefarmasian. Usut punya usut, sudah cukup lama unit layanan farmasi seringkali menimbulkan kekecewaan pada pasien.

Adapun kondisi yang paling sering ditemui adalah tidak transparannya harga obat yang harus pasien tebus atau bayar ke unit farmasi. Banyak ditemukan kasus bahwa pasien menerima nota dengan harga obat yang tidak terperinci. Hal ini lantaran tak sedikit oknum tidak bertanggung jawab memanfaatkan kelengahan pasien saat transaksi obat-obatan di unit farmasi. Dengan tujuan mendapat keuntungan pribadi.

Biasanya oknum-oknum tersebut akan memanfaatkan celah dengan menaikan harga obat dari harga yang seharusnya. Manipulasi nota harga obat bukan hanya akan merugikan fasilitas pelayanan kesehatan yang menaungi unit farmasi secara materi. Namun juga pada aspek non materi karena ketika pasien ternyata menyadari bahwa ada selisih harga pada obat, maka akan memicu pengalaman pasien yang negatif serta kredibilitas dan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.

Selain masalah manipulasi harga obat, layanan farmasi juga kerap dihadapkan dengan permasalahan waktu tunggu pasien yang lama dalam mendapatkan obat. Walaupun pada dasarnya mengantri obat setelah konsultasi atau melaksanakan pengobatan dengan dokter adalah hal yang wajar.

Akan tetapi, cukup banyak pasien di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu mengeluhkan prosedur mendapatkan obat yang terlalu panjang dan harus mengantri dalam waktu yang relatif lama. Dengan cara konvensional, pasien akan menyerahkan resep yang dokter tulis ke apoteker. Kemudian, apoteker akan menyiapkan obat-obatan sesuai daftar resep yang ada.

Namun, ketika suatu waktu ada arus permintaan pasien yang tinggi, kondisi ini seringkali menimbulkan antrian yang panjang. Tanpa disadari, alur pelayanan farmasi yang seperti ini akan membuat pelayanan obat yang lama dan pasien kehilangan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk beristirahat. Kondisi ini akan semakin memperparah pengalaman negatif pasien ketika pasien mengetahui bahwa fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat melayani pembelian dan pengambilan obat dengan lebih cepat.

Peran Penting Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik

Oleh sebab itu, dalam rangka menangani kedua masalah di atas, pemerintah negara melalui Kementerian Kesehatan rutin untuk menetapkan kebijakan terkait operasional pelayanan farmasi. Salah satu kebijakan yang paling mewakili adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 34 tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik.

Peraturan negara tersebut menjadi suatu tolak ukur atau standar yang dapat berguna sebagai acuan pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian di klinik melalui unit atau instalasi farmasi. Di mana semua itu dengan mempertimbangkan tujuan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian di klinik yang berorientasi kepada pasien.

Selain itu, pengaturan standar pelayanan kefarmasian di klinik juga bertujuan untuk:

  • Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
  • Menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian yang mencakup apoteker, tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat, serta tenaga teknis kefarmasian lain seperti sarjana farmasi, ahli madya farmasi, dan analis farmasi dalam menjalani tugas kefarmasian
  • Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)

Untuk terhindar dari penggunaan obat yang tidak rasional untuk pasien, instansi farmasi di klinik harus menggunakan obat, bahan obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan aspek farmasi lain yang didasarkan pada formularium dan standar pengobatan, pola penyakit, efektivitas dan keamanan, pengobatan berbasis bukti, mutu harga, dan ketersediaannya di pasaran.

Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik

Secara konsep, pelayanan kefarmasian di klinik meliputi 2 (dua) kegiatan. Yaitu pengelolaan ketersediaan obat, bahan obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan aspek farmasi lainnya. Serta pelayanan klinis seperti pengkajian dan pelayanan resep atau informasi obat, konseling, hingga monitoring efek samping obat untuk pasien. Dengan maksud meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Di mana pengelolaan yang dimaksud di atas terdiri dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pengendalian, pemusnahan dan penarikan. Serta proses administrasi obat hingga bahan medis habis pakai dengan bantuan sumber daya manusia, sarana, dan prasarana kefarmasian.

Proses pengelolaan obat, bahan obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan aspek farmasi lain dapat diadakan dengan bekerja bersama:

  • Industri farmasi utama
  • Pedagang besar farmasi
  • Distributor alat kesehatan
  • Toko alat kesehatan yang bersertifikat
  • Apotek mandiri

Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa tenaga kefarmasian dapat bermitra dengan apotek mandiri hanya untuk memenuhi kekurangan jumlah obat karena terjadi kelangkaan di fasilitas distribusi atau kekosongan obat di fasilitas pelayanan kesehatan.

Dan tak lupa, tenaga kefarmasian di klinik wajib mengirimkan laporan pelayanan kefarmasian secara berjenjang kepada:

  1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
  2. Dinas Kesehatan Provinsi
  3. Kementerian Kesehatan.

Di mana juga ada pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan oleh:

  1. Menteri Kesehatan
  2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
  3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing

Beberapa kasus pengawasan pengelolaan dan pelaporan pelayanan kefarmasian juga bekerja sama dengan Kepala BPOM. Di mana BPOM akan bertugas melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap pengelolaan obat-obatan dan alat medis.

Penutup

Demikian penjelasan singkat mengenai standar pelayanan farmasi di klinik yang perlu kita pahami bersama-sama. Untuk memaksimalkan pelaksanaan pelayanan farmasi berdasarkan kebijakan yang ada, tak ada salahnya tenaga farmasi atau tenaga kesehatan lain yang berwenang dapat memanfaatkan sistem informasi klinik atau SIM klinik yang juga bisa membantu pengelolaan kefarmasian. Dengan begitu, tenaga kefarmasian seperti apoteker dapat mengelola data transaksi obat, bahan obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan aspek farmasi lain dengan seefektif dan seefisien mungkin.